selamat menyaksikan
semoga bermanfaat bagi pembaca semua..!!!
semoga bermanfaat bagi pembaca semua..!!!
KEWIBAWAAN DALAM PEMBELAJARAN
A. KEWIBAWAAN
1. Pengertian kewibawaan
Kewibawaan merupakan “alat pendidikan” yang
diaplikasikan oleh guru untuk menjangkau (to touch) kedirian anak didik dalam
hubungan pendidikan. Kewibawaan ini mengarah kepada kondisi high touch, dalam
arti perlakuan guru menyentuh secara positif, kontruktif, dan komprehensif
aspek-aspek kedirian/kemanusiaan anak didik. Dalam hal ini guru menjadi
fasilitator bagi pengembangan anak didik yang diwarnai secara kental oleh
suasana kehangatan dan penerimaan, keterbukaan dan ketulusan, penghargaan,
kepercayaan, pemahaman empati, kecintaan dan penuh perhatian (Rogers, 1969;
Gordon, 1974; Smith, 1978; Barry & King, 1993; Hendricks, 1994). Sejalan
dengan pengembangan suasana demikian itu, guru dengan sungguh-sungguh memahami
suasana hubungannya dengan anak didik secara sejuk, dengan menggunakan bahasa
yang lembut, tidak meledak-ledak (Silberman, 1970 dan Gordon, 1974).
Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting
yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Pendidik
harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari
penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada unsure kewenangan
jabatan. Kewibawan justru menjadikan suatu pancaran
batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk mengakui, menerima dan
“menuruti” dengan penuh pengertian atas keluasaan tersebut, tetapi tidak sampai
guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung yang terlepas dari kritik.
Kewibawaan guru akan lebih berarti jika membuat siswanya dapat melakukan
koreksi atau kritik terhadap dirinya.
Kewibawaan pendidik hanya dimiliki oleh mereka yang
dewasa. Yang dimaksud dengan kedewasaan disini adalah kedewasaan pikiran.
Kedewasaan pikiran hanya akan tercapai oleh individu yang telah melakukan
proses atau dialektika dengan realitas social yang pernah dilaluinya. Misalnya
ketika masih mahasiswa aktif melakukan diskusi-diskusi dengan berbagai kelompok
dalam kampus atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang sifatnya
memacu perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik Atau terlibat dalam
advokasi-advokasi kemahasiswaan.
Ada tiga sendi kewibawaan,
yaitu kepercayaan, kasih sayang dan kemampuan. Pertama, kepercayaan, pendidik harus
percaya bahwa dirinya bisa mendidik dan juga harus percaya bahwa peserta didik
dapat mengembangkan dirinya sehingga dalam proses pembelajaran guru berfungsi
sebagai pembangkit potensi peserta dididik. Kedua, Kasih sayang mengandung makna, yaitu penyerahan diri kepada
yang disayangi/peserta didik dan melakukan proses pembebasan terhadap yang
disayangi dalam batasan-batasan yang tidak merugikan peserta didik dan
kesediaan untuk berkorban dalam bentuk konkretnya berupa pengabdian dalam
kerja. Ketiga, kemampuan mendidik
dapat dikembangkan melalui beberapa cara, antara lain pengkajian terhadap ilmu
pengetahuan kependidikan, mengambil manfaat dari pengalaman kerja, senantisa
megikuti alur perkembangan ilmu pengetahuan, agar guru mengajar sambil belajar
hal-hal yang baru, sehingga guru tidak hanya seperti burung beo yang
pengetahuannya tidak pernah bertambah.
Pengertian kewibawaan menurut
para ahli:
Kewibawaan yang efektif menurut Charles Schaefer (1996:86) didasarkan atas pengetahuan yang lebih utama atau
keahlian yang dilaksanakan dalam suatu suasana kasih sayang dan saling
menghormati. Karenanya, guru diharapkan memiliki kewibawaan agar mampu
membimbing siswa kepada pencapaian tujuan belajar yang sesungguhnya ingin
direalisasikan.
Wens Tanlain dkk. (1996:78) lebih tegas menjelaskan bahwa kewibawaan adalah adanya penerimaan,
pengakuan, kepercayaan siswa terhadap guru sebagai pendidik yang memberi
bantuan, tuntunan dan nilai-nilai manusiawi.
Seorang guru menurut
Hadiyanto (2004:30), merupakan manusia
terhormat dalam segala aspek,
yang harus menjadi suri
tauladan di kelas dan di luar kelas, baik dalam hal kemampuan berpikir, bersikap, maupun
bertutur kata yang tercermin
dari tingkah lakunya.
2. Pengaruh Sikap Kewibawaan Pendidik
T. Raka Joni
(1982:65) menyatakan bahwa karakteristik guru meliputi:
(a)
penguasaan materi yang mantap,
(b) sepenuh hati menyukai
bidangnya,
(c)
menguasai pelbagai strategi pembelajaran,
(d)
mampu mengelola kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok dan individual
(e)mengutamakan
standar prestasi yang tinggi untuk siswa dan dirinya, dan
(f) dekat dan suka bergaul
dengan siswa.
Dengan demikian, guru harus memiliki kemampuan,
keterampilan, pandangan yang luas serta harus memiliki kewibawaan dan
kesungguhan melaksanakan tanggung jawabnya. Kewibawaan guru tersebut di atas harus didasarkan pada
proses internalisasi pada diri peserta didik.
Menurut T. Raka
Joni
(1985:66) bahwa proses internalisasi tercermin
pada pendekatan guru yang dekat dengan siswa, luwes tetapi tegas dan sistematis dalam
pengaturan kerja. Artinya bahwa proses internalisasi pada diri peserta didik
berlangsung melalui diaktifkannya
kekuatan yang ada pada mereka melalui pendekatan yang digunakan guru yaitu
kekuatan berpikir, merasakan
dan berpengalaman yang semuanya
itu terpadu dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap apa yang akan
dilakukan.
Prayitno (2002:14)
menyatakan bahwa dalam proses pendidikan ada kedekatan antara pendidik dan
peserta didik. Hubungan
antara pendidik dan peserta didik haruslah mengarah kepada tujuan-tujuan
instrinsik pendidikan, dan
terbebas
dari tujuan-tujuan ekstrinsik yang bersifat pamrih untuk kepentingan pribadi pendidik.
Lebih jauh Prayitno
(2002:14)
menjelaskan bahwa pamrih-pamrih yang ada, selain dapat merugikan dan membebani
peserta didik, merupakan
pencederaan terhadap makna pendidikan dan menurunkan kewibawaan pendidik.
Sejalan dengan itu,
Muhibbin
Syah (1997:221) menyatakan bahwa wibawa guru di
mata murid kian jatuh. Khususnya di sekolah-sekolah kota yang hanya
menghormati guru apabila ada maksud-maksud tertentu seperti untuk mendapatkan
nilai tinggi dan dispensasi.
Syaiful Bahri Jamarah
(1994:64) mengemukakan: Wibawa
dan citra guru harus ditegakkan, namun tidaklah dapat dipungkiri bahwa
kenyataan citra guru berubah sesuai
perubahan
sosiokultural masyarakat, sehingga citra guru larut dalam perubahan. Tentu yang
perlu dipikirkan bahwa perubahan
sosiokultural akan terus berlanjut, gurupun perlu mengambil hikmahnya dan
menerima perubahan tersebut
dari
segi-segi positifnya, agar citra guru berubah kearah yang lebih baik sehingga
tidak merusak citra dan wibawa guru. Dari
paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kewibawaan adalah merupakan tonggak
utama yang harus dimiliki
seorang
guru sebagai pendidik dan pembimbing.
Dengan
kewibawaan yang dipunyai guru berarti memiliki kemampuan lebih, berpenampilan
menarik, mempunyai kekuatan dan keahlian yang berhubungan dengan pembelajaran
yang meliputi:
penguasaan materi pelajaran, kemampuan mengelola kelas, kedekatan dengan siswa,
bertanggungjawab dan sungguh-sungguh,
sehingga dengan demikian guru akan dijadikan sebagai panutan, contoh, bapak,
dan teman yang disegani
oleh siswa. Maka guru yang memiliki wibawa dalam pembelajaran akan mengutamakan
pembelajarannya lebih bersifat
sosial-psikologis-akademik; bukan material-ekonomis-fisik; intensitas
pembela-jaran disesuaikan
dengan kebutuhan
dan kondisi peserta didik, tidak terkesan memanjakan (karena terlalu banyak)
atau mengabaikan (karena
terlalu
sedikit).
Sejalan
dengan itu, wibawa guru (pendidik) dimata murid (peserta pendidik)kian jatuh
seiring dengan adanya perubahan sosiokultural masyarakat. Dikatakandemikian,
karena khususnya di sekolah-sekolah kota yang hanya menghormatikewibawaan guru
(pendidik) apabila ada maksud-maksud tertentu seperti untuk mendapatkan
nilai tinggi.Kewibawaan yang hakiki itu melekat pada karakter bukan sekedar
tampilanluar yang setiap saat bisa luntur hanya karena suatu kesalahan. Sehingga
sikapkewibawaan itu sangat penting bagi seorang pendidik karena jika sampai
hilang,hancurlah citra seorang pendidik di mata peserta didik. Peserta didik
akanmengacuhkan dan meragukan kemampuan integritasnya sebagai seorang
pendidik.Bila hal tersebut terjadi maka seorang pendidik harus memperbaiki
diri. Dan halitu tidak mudah dilakukan untuk mendapatkan kembali kewibaan
seorang pendidik. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu dan pembuktian yang
nyata untuk mengembalikan sikap kewibawaan pendidik
B. PRAYITNO (2003) MENYEBUTKAN LIMA ALAT PENDIDIKAN/ KEWIBAWAAN YAKNI:
A. PENGAKUAN DAN PENERIMAAN KESADARAN
adalah penerimaan dan perlakuan guru terhadap anak
didik atas dasar kedirian/kemanusiaan anak didik, serta penerimaan dan perilaku
anak didik terhadap guru atas dasar status, peranan, dan kualitas yang tinggi. Kesadaran dan pemahaman
tentang hak milik manusia dan dimensi kemanusiaan yang merupakan sikap dasar untuk memuliakan
kemanusiaan peserta didik melalui pendidikan
B. KASIH SAYANG DAN KELEMBUTAN
adalah
sikap, perlakuan, dan komunikasi guru terhadap anak didik didasarkan atas
hubungan sosio-emosional yang dekat- akrab-terbuka, fasilitatif, dan permisif - konstruktif bersifat pengembangan. Dasar dari suasana hubungan seperti ini
adalah love dan caring dengan fokus segala sesuatu diarahkan untuk kepentingan
dan kebahagiaan anak didik, sesuai dengan prinsip-prinsip humanistik.
Dalam
proses pembelajaran di kelas, Jalaluddin
Rahmat (1985:53) menyatakan bahwa:
Interaksi dalam proses pembelajaran merupakan suatu hubungan interpersonal yang untuk mengembangkannya menjadi suatu pola kerjasama yang baik diperlukan syarat sebagai berikut:
Interaksi dalam proses pembelajaran merupakan suatu hubungan interpersonal yang untuk mengembangkannya menjadi suatu pola kerjasama yang baik diperlukan syarat sebagai berikut:
(1) sikap percaya,
(2)
sikap sportif, dan
(3) sikap terbuka.
Dengan
adanya sikap percaya, sportif dan terbuka akan mengarah kepada hubungan atau
interaksi pembelajaran
yang menumbuhkan sikap saling menghargai, menghormati yang pada akhirnya akan
bermuara pada timbulnya
rasa kasih sayang antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Menurut Puskurbangdik
(2002) guru diharapkan mewarnai proses
pembelajaran dengan menyenangkan, sifat rasa kasih sayang, kelembutan, dan
suasana menyejukkan dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik.
Menurut (Benjamin
Spock
1982:58), kasih sayang dan kelembutan akan
mendorong lusinan tindakan yang spontan dan produktif dari peserta didik. Sehubungan
dengan kasih sayang dan kelembutan, Prayitno
(2002) menyatakan bahwa; dapat terwujud melalui
ketulusan, penghargaan, dan pemahaman secara empatik terhadap siswa sebagai
pribadi. Hal itu
semua, tidak mungkin diwujudkan melalui kekerasan, amarah, arogansi, kemunafikan,
atau kegiatan yang secara
langsung
ataupun tidak langsung, nyata atau terselubung, merugikan dan/atau menyulitkan
peserta didik.
Menurut Watten B.
(dalam Sahertian 1994) bahwa guru adalah pembawa
rasa kasih sayang, pembina dan pemberi layanan. Pendapat
yang sama dikemukakan oleh Muhhamad Suwaid (2002:41) bahwa; kasih sayang dan
sikap lemah lembut, dan
ramah yang dimiliki guru, akan membuat peserta didik mendapatkan rasa aman,
nyaman dan tenteram dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran.
mengikuti kegiatan pembelajaran.
Perasaan
menyenangkan dan suasana penuh keakraban dalam proses pembelajaran menurut Fuad bin Abdul Aziz Al-
Syaihub
(2005:26) akan mengusir kebosanan dan memberikan
sedikit rasa segar kepada siswa dan merubah suasana kering menjadi hangat
dan santai.
Dari
pendapat dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, apabila telah terjalin
ikatan kasih sayang dan kelembutan
cinta
antara guru dan siswa akan menimbulkan rasa percaya, terbuka, menghormati dan
menghargai guru. Dengan demikian
kasih sayang, kelembutan dan suasana pembelajaran yang didapatkan siswa
merupakan bentuk bimbingan
dari
guru, akan mampu merangsang siswa untuk memberikan reaksi posistif, tindakan-tindakan
kreatif, pengetahuan dan
pemikiran
baru yang lebih maju dalam mencapai kemandirian, khususnya belajar.
C. KETELADANAN DAN PENGARAHAN
Keteladanan adalah
penampilan positif dan normatif guru yang diterima dan ditiru oleh anak didik.
Dasar dari keteladanan adalah konformitas sebagai hasil pengaruh sosial dari
orang lain, dari yang berpola compliance, identification, sampai
internalization (Musen & Rosenzweig, 1973).
Seorang guru
menurut Hadiyanto (2004:30), merupakan
manusia terhormat dalam segala aspek, yang harus menjadi suri tauladan di kelas
dan di luar kelas, baik dalam hal kemampuan berpikir, bersikap, maupun bertutur
kata yang tercermin dari tingkah lakunya.
Dalam
proses pembelajaran dewasa
ini
keteladanan guru terhadap siswa baik dalam bersikap maupun
bertutur kata semakin menurun,
Menurut Prayitno (2002:23), hal ini
tidak boleh terjadi, karena keteladanan guru terhadap diri siswa ini pada
awalnya dimulai melalui proses
peniruan siswa terhadap guru yang menjadi panutan mereka.
Menurut Moh. Uzer Usman
(1995:13), guru harus senantiasa memberikan
keteladan yang baik kepada peserta didik. Lebih jauh Ghouzali Saydam (1996:414)
menyatakan bahwa ketauladanan
sangat
penting dalam pembentukan dan
pembinaan
sumber daya manusia. Peranan ketauladanan amat menentukan keberhasilan seorang
guru terhadap peserta
didiknya.
Prayitno (2002:23)
menyatakan bahwa siswa cenderung meniru pendidik yang sukses. Pendidik sukses
adalah teladan bagi
peserta didik.
Lanjut
Charles Schaefer (1996:16) bahwa: Anak-anak
merupakan peniru terbesar di dunia ini. Mereka terus-menerus meniru apa yang
dilihat dan menyimpan apa
yang
mereka dengar. Contoh teladan dapat lebih efektifr daripada kata-kata, karena
teladan itu menyediakan isyarat-
isyarat
non verbal yang berari menyediakan contoh yang jelas untuk ditiru. Pendidik
sukses menurut Prayitno (2002:23),
perlu menjalankan berbagai peran yang keseluruhannya tertuju kepada keberhasilan peserta
didik.
Oleh
karena itu, menurut Wens Tanlain dkk.
(1996:54), guru diharapkan dapat menampilkan prilaku yang dapat
dijadikan sebagai contoh, panutan
dan keteladanan bertingkahlaku bagi siswa dalam kehidupan, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat. Posisi guru faktor
penting/utama dalam proses pembelajaran. Seperti pernyataan Hadi Supeno
(1999:39) guru secara umum
tetap memegang sentral utama dalam proses pendidikan persekolahan, walaupun
dalam proses pendidikan modern
siswa lebih banyak belajar mandiri. Kehadiran guru sebagai tokoh, panutan dan
keteladanan serta pembimbing
tidak
dapat diganti dengan sumber-sumber belajar lainnya.
Kesimpulan
yang dapat ditarik dari beberapa pendapat di atas, adalah bahwa keteladan guru
dalam pendidikan/proses pembelajaran,
merupakan hal yang mutlak adanya ditinjau dari segi penampilan, cara
berpakaian, bersikap, tutur
bahasa
atau perkataannya, kedisiplinan dan
tanggung jawab. Dalam arti
menyangkut perkataan, perbuatan dan tingkah laku guru dalam
keseharian, terutama tentunya dalam proses pendidikan.
Pengarahan adalah
upaya guru untuk mewujudkan ke mana anak didik membina diri dan berkembang.
Upaya yang bernuansa direktif ini, termasuk di dalamnya kepemimpinan guru,
tidak mengurangi kebebasan anak didik sebagai subjek yang pada dasarnya otonom
dan diarahkan untuk menjadi pribadi yang mandiri. Pendidik harus menjadi
seseorang yang patut diteladani oleh peserta didik dengan memberikan suatu
etika yang baik di dalam memberikan pengarahan pembelajaran.
D. PENGUATAN
adalah
upaya guru untuk meneguhkan tingkah laku positif anak didik melalui
bentuk-bentuk pemberian penghargaan secara tepat yang menguatkan
(reinforcement). Pemberian penguatan didasarkan pada kaidah-kaidah pengubahan
tingkah laku.
Dalam proses pembelajaran,
penguatan atau reinforcement adalah sesuatu hal yang penting dalam memberikan motivasi yang lebih
kuat pada siswa.
Ellis (1978:20)
mendefinisikan reinforcement sebagai berikut: A reinforcer is any event which, when
occurring in close temporal
relationship
to a response, increases the likelihood that the response will be repeated in the
future. Penguatan adalah semua peristiwa yang terjadi dalam rentangan waktu yang terdekat untuk meningkatkan
kecenderungan pengulangan respon yang telah dilakukan.
Sama
dengan yang dikemukakan Prayitno
(2002:34) bahwa: Penguatan (reinforcement)
merupakan upaya untuk mendorong
diulanginya lagi (sesering mungkin)
tingkah
laku yang dianggap
baik oleh si pelaku. Penguatan diberikan dengan pertimbangan: tepat sasaran, tepat
waktu dan tempat, tepat isi,
tepat cara, dan tepat orang yang
memberikannya.
Wolfolk (1995)
juga menyatakan bahwa reinforcement kepada siswa dalam proses pembelajaran dapat diberikan melalui
perhatian yang memadai dari guru kepada siswa. Reinforcement juga dirasakan penting terutama dalam proses
pembelajaran sosial.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Glover and Roger (1990) bahwa reinforcement dan
pemberian respon merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembelajaran
terhadap siswa. Berdasarkan beberapa
pendapat di atas, maka dapat dinyatakan bahwa reinforcement yang diberikan
kepada siswa baik
positif maupun negatif dengan prosedur yang tepat akan dapat memberikan manfaat
dalam proses pembelajaran
siswa.
Selain
hal di atas, dalam proses pembelajaran guru juga tidak terlepas dari penerapan
prinsip-prinsip belajar.
Dimyati & Muljiono
(1999:42) menyebutkan prinsip belajar antara lain
adalah:
1)
perhatian dan motivasi,
2)
keaktifan,
3) keterlibatan
langsung/pengalaman,
4)
pengulangan,
5)
tantangan,
6)
balikan dan penguatan,
7)
perbedaan individu.
Implikasi
prinsip belajar tersebut bagi guru adalah pemberian perhatian dan motivasi
sebagai penguatan bagi diri individu
(siswa)
terhadap prestasi maupun hal-hal positif yang telah dilakukan atau dicapainya.
Kesimpulan,
bahwa guru yang membimbing adalah guru yang mampu memberikan penguatan secara
tepat sasaran, tepat
waktu dan tempat, tepat isi, tepat cara, dan tepat orang yang memberikannya
pada siswanya. Dalam arti kapan,
siapa
siswanya dan hal seperti apa yang seharusnya diberikan penguatan secara
posistif; dalam arti agar siswa tersebut mengulangi dan mempertahankan hal-hal
baik yang telah diperolehnya, dan memberikan penguatan negatif; agar siswa meninggalkan hal-hal
negatif dan berupaya melakukan perbaikan kepada hal-hal yang positif. Sehingga
siswa merasa diperhatikan,
dibimbing, diarahkan dan dimotivasi untuk melakukan tindakan pengembangan,
pengayaan dan perbaikan (remedial)
untuk dirinya.
E. TINDAKAN TEGAS YANG MENDIDIK
adalah upaya guru untuk mengubah tingkah laku anak
didik yang kurang dikehendaki melalui penyadaran anak didik atas kekeliruannya
dengan tetap menjunjung kemanusiaan anak didik serta tetap menjaga hubungan
baik antara anak didik dan guru. Dengan tindakan tegas yang mendidik ini, tindakan menghukum yang menimbulkan suasana
negatif pada diri anak didik dihindarkan.
Pelanggaran
dan kesalahan yang dilakukan peserta didik tidak selayaknya diabaikan atau
dibiarkan, melainkan diperhatikan
dan ditangani atau diberikan tindakan tegas secara proporsional. Menurut Thomas Amstrong (2003:160) yang perlu dilakukan
adalah menyesuaikan tindakan terhadap kondisi yang berbeda dari setiap siswa.
Menurut Wens
Tanlain
dkk. (1996:56) tindakan tegas mendidik dapat
berupa teguran dan hukuman. Teguran digunakan untuk mengoreksi tingkah laku
yang tidak sesuai dengan perintah atau larangan, yang bertujuan menyadarkan
anak didik dari tingkah
laku kurang tepat serta akibatnya.
Masih
menurut Wens Tanlain dkk. (1996:57), hukuman adalah merupakan alat pendidikan
istemewa sebab membuat anak didik menderita. Hukuman diberikan pada siswa
karena melakukan kesalahan,
agar siswa tidak lagi melakukannya.
Pelaksanaan
hukuman sebaiknya dihindari. Menurut
Davis (1989:65) hukuman dapat menyakitkan secara fisik maupun psikologis. Lebih jauh Hasan Langgulung (1995:44) mengatakan
bahwa hukuman jasmani telah dikritik pendidik modern, karena menimbulkan
kebencian murid kepada guru. Syaiful
Bahri Jamarah (1994:47) menegaskan bahwa hukuman yang tidak mendidik
adalah berupa memukuli siswa yang bersalah hingga mengalami luka. Tindakan
tidak mendidik ini
konsekunsinya, siswa akan memusuhi guru dan prestasi belajar dengan guru yang pernah memukulnya menjadi rendah. Hal yang sama dengan Wens Tanlain dkk. (1996:57) menyatakan bahwa sebaiknya hindari menggunakan tindakan tegas yang berhubungan dengan badan dan perasaan, karena dapat mengganggu hubungan kasih sayang antara guru (pendidik) dengan siswa.
konsekunsinya, siswa akan memusuhi guru dan prestasi belajar dengan guru yang pernah memukulnya menjadi rendah. Hal yang sama dengan Wens Tanlain dkk. (1996:57) menyatakan bahwa sebaiknya hindari menggunakan tindakan tegas yang berhubungan dengan badan dan perasaan, karena dapat mengganggu hubungan kasih sayang antara guru (pendidik) dengan siswa.
Tindakan
tegas guru terhadap pelanggaran atau kesalahan terhadap peserta didik (siswa)
perlu dilaksanakan. Dikatakan
Charles Schaefer
(1996:113) makin cepat anak menerima sanksi
(hukuman) sesudah satu tingkah laku, maka makin efektif sanksi-sanksi
itu mengubah tingkah laku itu. Lebih jauh Benyamin
Spock (1982:259) menyatakan bahwa tindakan semacam itu akan mampu
membentuk watak siswa yang memiliki budi pekerti baik. Kalau guru telah segan
bertindak tegas
terhadap siswa maka kewibawaan mereka akan berkurang.
Menurut Thomas Amstrong
(2003:161) ada beberapa teknik yang dapat
dilakukan untuk menangani perilaku siswa yaitu:
(a)
bicara kepada siswa,
(b)
memberikan contoh atau teladan bagi siswa,
(c) sediakan konseling pribadi,
(d)
buat konseling
bersama teman-teman sebaya, dan (e) kembangkan kontak pribadi guru dengan
siswa.
Kesimpulan,
bahwa tindakan tegas terhadap siswa yang melakukan pelanggaran atau kesalahan, perlu
dilaksanakan dengan
pendekatan yang bermuatan pendidikan agar dapat mendorong si pelanggar untuk
menyadari kesalahannya dan
memiliki komitmen untuk memperbaiki diri sehingga pelanggaran atau kesalahan
itu tidak terulang lagi. Penggunaan
tindakan
tegas yang mendidik terhadap siswa, akan tetap menyuburkan kasih sayang, dapat
menyadarkan siswa akan
kesalahannya, mengembangkan hubungan yang harmonis dengan siswa, dan mampu membentuk budi pekerti yang baik pada siswa, serta tetap menghargai dan menghormati guru, sehingga kewibawaan guru tetap terpelihara.
kesalahannya, mengembangkan hubungan yang harmonis dengan siswa, dan mampu membentuk budi pekerti yang baik pada siswa, serta tetap menghargai dan menghormati guru, sehingga kewibawaan guru tetap terpelihara.
C. DAMPAK
KEWIBAWAAN PENDIDIK BAGI PESERTA DIDIK.
Peserta didik membutuhkan kasih sayang. Tanpa adanya kasih sayang,
pesertadidik akan bertindak di luar kontrol pendidik. Peserta didik akan
menjadi pribadiyang brutal dan sulit di atur. Di luar pihak, peserta didik yang
mendapatkan kasihsayang secara berlebihan
akan menjadi pribadi yang manja dan tidak siap dalammenghadapi tantangan
hidup. Sama halnya dengan kewibawaan yang disesuaikandengan kebutuhan peserta didik. Kewibawaan yang berlebihan akan
berdampak kepada proses pendidikan diktator.
Dampak
positif seorang pendidik yang memiliki sikap kewibawaansesuai dengan kebutuhan
peserta didik, antara lain :
a). pendidik akan dihormati dan diteladani oleh
peserta didik,
b).dapat
mempengaruhi peserta didik untuk patuh terhadap peraturansecara sadar dan
sukarela,
c). peserta didik mengerti
bentuk kepatuhan terhadap peraturan untuk kebaikan peserta didik bukan untuk
keuntungan salah satu pihak, dan
d). dapat membentuk
kepribadian yang baik dan santun bagi peserta pendidik
Dampak negatif seorang
pendidik yang memiliki sikap kewibawaan secara berlebihan, antara lain :
a). akses sosial peserta
didik jarang terjadi sehinggamematikan potensi kepemimpinan peserta didik,
b). mengakibatkan peraturan
sistematik yang terus-meneruskarena peran pendidik yang sangat dominan,
c). membentuk karakter
peserta didik yang pemberontak,
suka melanggar aturan dan melecehkan pandidik,
d). apabila peserta didik
patuh pada peraturan, hal itudikarenakan
rasa takut dan bukan malu sehingga peserta didik kurang mengerti arti penting
dari suatu peraturan, dan
e). peserta
didik akan menjadi pribadi yang egois dilingkungan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bimbingan Konseling “Alat Pendidikan
dalam proses pembelajaran”ditulis oleh Ifdil.
Shidewdivika “Kasih Sayang dan
Kewibawaan Pendidik” (2010)
http://konselingindonesia.com
Menggunakan Joomla! Generated