Sabtu, 28 Maret 2015

MATA KULIAH PEDAGOGI (KEWIBAWAAN DALAM PEMBELAJARAN)

selamat menyaksikan
semoga bermanfaat bagi pembaca semua..!!!


KEWIBAWAAN DALAM PEMBELAJARAN

A.     KEWIBAWAAN
1.      Pengertian kewibawaan
Kewibawaan merupakan “alat pendidikan” yang diaplikasikan oleh guru untuk menjangkau (to touch) kedirian anak didik dalam hubungan pendidikan. Kewibawaan ini mengarah kepada kondisi high touch, dalam arti perlakuan guru menyentuh secara positif, kontruktif, dan komprehensif aspek-aspek kedirian/kemanusiaan anak didik. Dalam hal ini guru menjadi fasilitator bagi pengembangan anak didik yang diwarnai secara kental oleh suasana kehangatan dan penerimaan, keterbukaan dan ketulusan, penghargaan, kepercayaan, pemahaman empati, kecintaan dan penuh perhatian (Rogers, 1969; Gordon, 1974; Smith, 1978; Barry & King, 1993; Hendricks, 1994). Sejalan dengan pengembangan suasana demikian itu, guru dengan sungguh-sungguh memahami suasana hubungannya dengan anak didik secara sejuk, dengan menggunakan bahasa yang lembut, tidak meledak-ledak (Silberman, 1970 dan Gordon, 1974).
Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Pendidik harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada unsure kewenangan jabatan.     Kewibawan justru menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk mengakui, menerima dan “menuruti” dengan penuh pengertian atas keluasaan tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung yang terlepas dari kritik. Kewibawaan guru akan lebih berarti jika membuat siswanya dapat melakukan koreksi atau kritik terhadap dirinya.
Kewibawaan pendidik hanya dimiliki oleh mereka yang dewasa. Yang dimaksud dengan kedewasaan disini adalah kedewasaan pikiran. Kedewasaan pikiran hanya akan tercapai oleh individu yang telah melakukan proses atau dialektika dengan realitas social yang pernah dilaluinya. Misalnya ketika masih mahasiswa aktif melakukan diskusi-diskusi dengan berbagai kelompok dalam kampus atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang sifatnya memacu perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik Atau terlibat dalam advokasi-advokasi kemahasiswaan.         
 Ada tiga sendi kewibawaan, yaitu kepercayaan, kasih sayang dan kemampuan. Pertama, kepercayaan, pendidik harus percaya bahwa dirinya bisa mendidik dan juga harus percaya bahwa peserta didik dapat mengembangkan dirinya sehingga dalam proses pembelajaran guru berfungsi sebagai pembangkit potensi peserta dididik. Kedua, Kasih sayang mengandung makna, yaitu penyerahan diri kepada yang disayangi/peserta didik dan melakukan proses pembebasan terhadap yang disayangi dalam batasan-batasan yang tidak merugikan peserta didik dan kesediaan untuk berkorban dalam bentuk konkretnya berupa pengabdian dalam kerja. Ketiga, kemampuan mendidik dapat dikembangkan melalui beberapa cara, antara lain pengkajian terhadap ilmu pengetahuan kependidikan, mengambil manfaat dari pengalaman kerja, senantisa megikuti alur perkembangan ilmu pengetahuan, agar guru mengajar sambil belajar hal-hal yang baru, sehingga guru tidak hanya seperti burung beo yang pengetahuannya tidak pernah bertambah.
Pengertian kewibawaan menurut para ahli:
Kewibawaan yang efektif menurut Charles Schaefer (1996:86) didasarkan atas pengetahuan yang lebih utama atau keahlian yang dilaksanakan dalam suatu suasana kasih sayang dan saling menghormati. Karenanya, guru diharapkan memiliki kewibawaan agar mampu membimbing siswa kepada pencapaian tujuan belajar yang sesungguhnya ingin direalisasikan.
Wens Tanlain dkk. (1996:78) lebih tegas menjelaskan bahwa kewibawaan adalah adanya penerimaan, pengakuan, kepercayaan siswa terhadap guru sebagai pendidik yang memberi bantuan, tuntunan dan nilai-nilai manusiawi.
Seorang guru menurut Hadiyanto (2004:30), merupakan manusia terhormat dalam segala aspek, yang harus menjadi suri tauladan di kelas dan di luar kelas, baik dalam hal kemampuan berpikir, bersikap, maupun bertutur kata yang tercermin dari tingkah lakunya.

2.  Pengaruh Sikap Kewibawaan Pendidik
T. Raka Joni (1982:65) menyatakan bahwa karakteristik guru meliputi:
(a) penguasaan materi yang mantap,
(b) sepenuh hati menyukai bidangnya,
(c) menguasai pelbagai strategi pembelajaran,
(d) mampu mengelola kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok dan individual
(e)mengutamakan standar prestasi yang tinggi untuk siswa dan dirinya, dan
(f) dekat dan suka bergaul dengan siswa.
Dengan demikian, guru harus memiliki kemampuan, keterampilan, pandangan yang luas serta harus memiliki kewibawaan dan kesungguhan melaksanakan tanggung jawabnya. Kewibawaan guru tersebut di atas harus didasarkan pada proses internalisasi pada diri peserta didik.
Menurut T. Raka Joni (1985:66) bahwa proses internalisasi tercermin pada pendekatan guru yang dekat dengan siswa, luwes tetapi tegas dan sistematis dalam pengaturan kerja. Artinya bahwa proses internalisasi pada diri peserta didik berlangsung melalui diaktifkannya kekuatan yang ada pada mereka melalui pendekatan yang digunakan guru yaitu kekuatan berpikir, merasakan dan berpengalaman yang semuanya itu terpadu dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap apa yang akan dilakukan.
Prayitno (2002:14) menyatakan bahwa dalam proses pendidikan ada kedekatan antara pendidik dan peserta didik. Hubungan antara pendidik dan peserta didik haruslah mengarah kepada tujuan-tujuan instrinsik pendidikan, dan terbebas dari tujuan-tujuan ekstrinsik yang bersifat pamrih untuk kepentingan pribadi pendidik. Lebih jauh Prayitno (2002:14) menjelaskan bahwa pamrih-pamrih yang ada, selain dapat merugikan dan membebani peserta didik, merupakan pencederaan terhadap makna pendidikan dan menurunkan kewibawaan pendidik.
Sejalan dengan itu, Muhibbin Syah (1997:221) menyatakan bahwa wibawa guru di mata murid kian jatuh. Khususnya di sekolah-sekolah kota yang hanya menghormati guru apabila ada maksud-maksud tertentu seperti untuk mendapatkan nilai tinggi dan dispensasi.
Syaiful Bahri Jamarah (1994:64) mengemukakan:  Wibawa dan citra guru harus ditegakkan, namun tidaklah dapat dipungkiri bahwa kenyataan citra guru berubah sesuai perubahan sosiokultural masyarakat, sehingga citra guru larut dalam perubahan. Tentu yang perlu dipikirkan bahwa perubahan sosiokultural akan terus berlanjut, gurupun perlu mengambil hikmahnya dan menerima perubahan tersebut dari segi-segi positifnya, agar citra guru berubah kearah yang lebih baik sehingga tidak merusak citra dan wibawa guru.  Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kewibawaan adalah merupakan tonggak utama yang harus dimiliki seorang guru sebagai pendidik dan pembimbing.
Dengan kewibawaan yang dipunyai guru berarti memiliki kemampuan lebih, berpenampilan menarik, mempunyai kekuatan dan keahlian yang berhubungan dengan pembelajaran yang meliputi: penguasaan materi pelajaran, kemampuan mengelola kelas, kedekatan dengan siswa, bertanggungjawab dan sungguh-sungguh, sehingga dengan demikian guru akan dijadikan sebagai panutan, contoh, bapak, dan teman yang disegani oleh siswa. Maka guru yang memiliki wibawa dalam pembelajaran akan mengutamakan pembelajarannya lebih bersifat sosial-psikologis-akademik; bukan material-ekonomis-fisik; intensitas pembela-jaran disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik, tidak terkesan memanjakan (karena terlalu banyak) atau mengabaikan (karena terlalu sedikit).
Sejalan dengan itu, wibawa guru (pendidik) dimata murid (peserta pendidik)kian jatuh seiring dengan adanya perubahan sosiokultural masyarakat. Dikatakandemikian, karena khususnya di sekolah-sekolah kota yang hanya menghormatikewibawaan guru (pendidik) apabila ada maksud-maksud tertentu seperti untuk mendapatkan nilai tinggi.Kewibawaan yang hakiki itu melekat pada karakter bukan sekedar tampilanluar yang setiap saat bisa luntur hanya karena suatu kesalahan. Sehingga sikapkewibawaan itu sangat penting bagi seorang pendidik karena jika sampai hilang,hancurlah citra seorang pendidik di mata peserta didik. Peserta didik akanmengacuhkan dan meragukan kemampuan integritasnya sebagai seorang pendidik.Bila hal tersebut terjadi maka seorang pendidik harus memperbaiki diri. Dan halitu tidak mudah dilakukan untuk mendapatkan kembali kewibaan seorang pendidik. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu dan pembuktian yang nyata untuk mengembalikan sikap kewibawaan pendidik


B.   PRAYITNO (2003) MENYEBUTKAN LIMA ALAT PENDIDIKAN/ KEWIBAWAAN YAKNI:

A. PENGAKUAN DAN PENERIMAAN KESADARAN
adalah penerimaan dan perlakuan guru terhadap anak didik atas dasar kedirian/kemanusiaan anak didik, serta penerimaan dan perilaku anak didik terhadap guru atas dasar status, peranan, dan kualitas yang tinggi.  Kesadaran dan pemahaman tentang hak milik manusia dan dimensi kemanusiaan yang merupakan sikap dasar untuk memuliakan kemanusiaan peserta didik melalui pendidikan

   
        B. KASIH SAYANG DAN KELEMBUTAN
            adalah sikap, perlakuan, dan komunikasi guru terhadap anak didik didasarkan atas hubungan sosio-emosional yang dekat- akrab-terbuka, fasilitatif, dan permisif - konstruktif bersifat pengembangan. Dasar dari suasana hubungan seperti ini adalah love dan caring dengan fokus segala sesuatu diarahkan untuk kepentingan dan kebahagiaan anak didik, sesuai dengan prinsip-prinsip humanistik.
Dalam proses pembelajaran di kelas, Jalaluddin Rahmat (1985:53) menyatakan bahwa:
Interaksi dalam proses pembelajaran merupakan suatu hubungan interpersonal yang untuk mengembangkannya
menjadi suatu pola kerjasama yang baik diperlukan syarat sebagai berikut:
 (1) sikap percaya,
(2) sikap sportif, dan
(3) sikap terbuka.
Dengan adanya sikap percaya, sportif dan terbuka akan mengarah kepada hubungan atau interaksi pembelajaran yang menumbuhkan sikap saling menghargai, menghormati yang pada akhirnya akan bermuara pada timbulnya rasa kasih sayang antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran.  
Menurut Puskurbangdik (2002) guru diharapkan mewarnai proses pembelajaran dengan menyenangkan, sifat rasa kasih sayang, kelembutan, dan suasana menyejukkan dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik.  
Menurut (Benjamin Spock 1982:58), kasih sayang dan kelembutan akan mendorong lusinan tindakan yang spontan dan produktif dari peserta didik.  Sehubungan dengan kasih sayang dan kelembutan, Prayitno (2002) menyatakan bahwa;  dapat terwujud melalui ketulusan, penghargaan, dan pemahaman secara empatik terhadap siswa sebagai pribadi. Hal itu semua, tidak mungkin diwujudkan melalui kekerasan, amarah, arogansi, kemunafikan, atau kegiatan yang secara langsung ataupun tidak langsung, nyata atau terselubung, merugikan dan/atau menyulitkan peserta didik.  
Menurut Watten B. (dalam Sahertian 1994) bahwa guru adalah pembawa rasa kasih sayang, pembina dan pemberi layanan.  Pendapat yang sama dikemukakan oleh Muhhamad Suwaid (2002:41) bahwa; kasih sayang dan sikap lemah lembut, dan ramah yang dimiliki guru, akan membuat peserta didik mendapatkan rasa aman, nyaman dan tenteram dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran.
 
Perasaan menyenangkan dan suasana penuh keakraban dalam proses pembelajaran menurut Fuad bin Abdul Aziz Al- Syaihub (2005:26) akan mengusir kebosanan dan memberikan sedikit rasa segar kepada siswa dan merubah suasana kering menjadi hangat dan santai.  
Dari pendapat dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, apabila telah terjalin ikatan kasih sayang dan kelembutan cinta antara guru dan siswa akan menimbulkan rasa percaya, terbuka, menghormati dan menghargai guru. Dengan demikian kasih sayang, kelembutan dan suasana pembelajaran yang didapatkan siswa merupakan bentuk bimbingan dari guru, akan mampu merangsang siswa untuk memberikan reaksi posistif, tindakan-tindakan kreatif, pengetahuan dan pemikiran baru yang lebih maju dalam mencapai kemandirian, khususnya belajar.

  
          C.  KETELADANAN  DAN PENGARAHAN
Keteladanan adalah penampilan positif dan normatif guru yang diterima dan ditiru oleh anak didik. Dasar dari keteladanan adalah konformitas sebagai hasil pengaruh sosial dari orang lain, dari yang berpola compliance, identification, sampai internalization (Musen & Rosenzweig, 1973).
 Seorang guru menurut Hadiyanto (2004:30), merupakan manusia terhormat dalam segala aspek, yang harus menjadi suri tauladan di kelas dan di luar kelas, baik dalam hal kemampuan berpikir, bersikap, maupun bertutur kata yang tercermin dari tingkah lakunya.
Dalam proses pembelajaran dewasa ini keteladanan guru terhadap siswa baik dalam bersikap maupun bertutur kata semakin menurun,  Menurut Prayitno (2002:23), hal ini tidak boleh terjadi, karena keteladanan guru terhadap diri siswa ini pada awalnya dimulai melalui proses peniruan siswa terhadap guru yang menjadi panutan mereka.
Menurut Moh. Uzer Usman (1995:13), guru harus senantiasa memberikan keteladan yang baik kepada peserta didik. Lebih jauh Ghouzali Saydam (1996:414) menyatakan bahwa ketauladanan sangat penting dalam pembentukan dan pembinaan sumber daya manusia. Peranan ketauladanan amat menentukan keberhasilan seorang guru terhadap peserta didiknya.
Prayitno (2002:23) menyatakan bahwa siswa cenderung meniru pendidik yang sukses. Pendidik sukses adalah teladan bagi peserta didik.
Lanjut Charles Schaefer (1996:16) bahwa:  Anak-anak merupakan peniru terbesar di dunia ini. Mereka terus-menerus meniru apa yang dilihat dan menyimpan apa yang mereka dengar. Contoh teladan dapat lebih efektifr daripada kata-kata, karena teladan itu menyediakan isyarat- isyarat non verbal yang berari menyediakan contoh yang jelas untuk ditiru.  Pendidik sukses menurut Prayitno (2002:23), perlu menjalankan berbagai peran yang keseluruhannya tertuju kepada keberhasilan peserta didik.
Oleh karena itu, menurut Wens Tanlain dkk. (1996:54), guru diharapkan dapat menampilkan prilaku yang dapat dijadikan sebagai contoh, panutan dan keteladanan bertingkahlaku bagi siswa dalam kehidupan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.  Posisi guru faktor penting/utama dalam proses pembelajaran. Seperti pernyataan Hadi Supeno (1999:39) guru secara umum tetap memegang sentral utama dalam proses pendidikan persekolahan, walaupun dalam proses pendidikan modern siswa lebih banyak belajar mandiri. Kehadiran guru sebagai tokoh, panutan dan keteladanan serta pembimbing tidak dapat diganti dengan sumber-sumber belajar lainnya.  
Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pendapat di atas, adalah bahwa keteladan guru dalam pendidikan/proses pembelajaran, merupakan hal yang mutlak adanya ditinjau dari segi penampilan, cara berpakaian, bersikap, tutur bahasa atau perkataannya, kedisiplinan dan tanggung jawab. Dalam arti menyangkut perkataan, perbuatan dan tingkah laku guru dalam keseharian, terutama tentunya dalam proses pendidikan.
Pengarahan adalah upaya guru untuk mewujudkan ke mana anak didik membina diri dan berkembang. Upaya yang bernuansa direktif ini, termasuk di dalamnya kepemimpinan guru, tidak mengurangi kebebasan anak didik sebagai subjek yang pada dasarnya otonom dan diarahkan untuk menjadi pribadi yang mandiri. Pendidik harus menjadi seseorang yang patut diteladani oleh peserta didik dengan memberikan suatu etika yang baik di dalam memberikan pengarahan pembelajaran.

D. PENGUATAN
            adalah upaya guru untuk meneguhkan tingkah laku positif anak didik melalui bentuk-bentuk pemberian penghargaan secara tepat yang menguatkan (reinforcement). Pemberian penguatan didasarkan pada kaidah-kaidah pengubahan tingkah laku.
            Dalam proses pembelajaran, penguatan atau reinforcement adalah sesuatu hal yang penting dalam memberikan motivasi yang lebih kuat pada siswa.
Ellis (1978:20) mendefinisikan reinforcement sebagai berikut: A reinforcer is any event which, when occurring in close temporal relationship to a response, increases the likelihood that the response will be repeated in the future. Penguatan adalah semua peristiwa yang terjadi dalam rentangan waktu yang terdekat untuk meningkatkan kecenderungan pengulangan respon yang telah dilakukan.  
Sama dengan yang dikemukakan Prayitno (2002:34) bahwa:  Penguatan (reinforcement) merupakan upaya untuk mendorong diulanginya lagi (sesering mungkin) tingkah laku yang dianggap baik oleh si pelaku. Penguatan diberikan dengan pertimbangan: tepat sasaran, tepat waktu dan tempat, tepat isi, tepat cara, dan tepat orang yang memberikannya.  
Wolfolk (1995) juga menyatakan bahwa reinforcement kepada siswa dalam proses pembelajaran dapat diberikan melalui perhatian yang memadai dari guru kepada siswa. Reinforcement juga dirasakan penting terutama dalam proses pembelajaran sosial.
 Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Glover and Roger (1990) bahwa reinforcement dan pemberian respon merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembelajaran terhadap siswa.  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat dinyatakan bahwa reinforcement yang diberikan kepada siswa baik positif maupun negatif dengan prosedur yang tepat akan dapat memberikan manfaat dalam proses pembelajaran siswa.  Selain hal di atas, dalam proses pembelajaran guru juga tidak terlepas dari penerapan prinsip-prinsip belajar.
 Dimyati & Muljiono (1999:42) menyebutkan prinsip belajar antara lain adalah:
1) perhatian dan motivasi,
2) keaktifan,
3) keterlibatan langsung/pengalaman,
4) pengulangan,
5) tantangan,
6) balikan dan penguatan,
7) perbedaan individu.
Implikasi prinsip belajar tersebut bagi guru adalah pemberian perhatian dan motivasi sebagai penguatan bagi diri individu (siswa) terhadap prestasi maupun hal-hal positif yang telah dilakukan atau dicapainya.  
Kesimpulan, bahwa guru yang membimbing adalah guru yang mampu memberikan penguatan secara tepat sasaran, tepat waktu dan tempat, tepat isi, tepat cara, dan tepat orang yang memberikannya pada siswanya. Dalam arti kapan, siapa siswanya dan hal seperti apa yang seharusnya diberikan penguatan secara posistif; dalam arti agar siswa tersebut mengulangi dan mempertahankan hal-hal baik yang telah diperolehnya, dan memberikan penguatan negatif; agar siswa meninggalkan hal-hal negatif dan berupaya melakukan perbaikan kepada hal-hal yang positif. Sehingga siswa merasa diperhatikan, dibimbing, diarahkan dan dimotivasi untuk melakukan tindakan pengembangan, pengayaan dan perbaikan (remedial) untuk dirinya.

 E. TINDAKAN TEGAS YANG MENDIDIK
adalah upaya guru untuk mengubah tingkah laku anak didik yang kurang dikehendaki melalui penyadaran anak didik atas kekeliruannya dengan tetap menjunjung kemanusiaan anak didik serta tetap menjaga hubungan baik antara anak didik dan guru. Dengan tindakan tegas yang mendidik ini, tindakan menghukum yang menimbulkan suasana negatif pada diri anak didik dihindarkan.
Pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan peserta didik tidak selayaknya diabaikan atau dibiarkan, melainkan diperhatikan dan ditangani atau diberikan tindakan tegas secara proporsional. Menurut Thomas Amstrong (2003:160) yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan tindakan terhadap kondisi yang berbeda dari setiap siswa.
Menurut Wens Tanlain dkk. (1996:56) tindakan tegas mendidik dapat berupa teguran dan hukuman. Teguran digunakan untuk mengoreksi tingkah laku yang tidak sesuai dengan perintah atau larangan, yang bertujuan menyadarkan anak didik dari tingkah laku kurang tepat serta akibatnya. Masih menurut Wens Tanlain dkk. (1996:57), hukuman adalah merupakan alat pendidikan istemewa sebab membuat anak didik menderita. Hukuman diberikan pada siswa karena melakukan kesalahan, agar siswa tidak lagi melakukannya.  
Pelaksanaan hukuman sebaiknya dihindari. Menurut Davis (1989:65) hukuman dapat menyakitkan secara fisik maupun psikologis. Lebih jauh Hasan Langgulung (1995:44) mengatakan bahwa hukuman jasmani telah dikritik pendidik modern, karena menimbulkan kebencian murid kepada guru. Syaiful Bahri Jamarah (1994:47) menegaskan bahwa hukuman yang tidak mendidik adalah berupa memukuli siswa yang bersalah hingga mengalami luka. Tindakan tidak mendidik ini
konsekunsinya, siswa akan memusuhi guru dan prestasi belajar dengan guru yang pernah memukulnya menjadi rendah.
 Hal yang sama dengan Wens Tanlain dkk. (1996:57) menyatakan bahwa sebaiknya hindari menggunakan tindakan tegas yang berhubungan dengan badan dan perasaan, karena dapat mengganggu hubungan kasih sayang antara guru (pendidik) dengan siswa.  
Tindakan tegas guru terhadap pelanggaran atau kesalahan terhadap peserta didik (siswa) perlu dilaksanakan. Dikatakan Charles Schaefer (1996:113) makin cepat anak menerima sanksi (hukuman) sesudah satu tingkah laku, maka makin efektif sanksi-sanksi itu mengubah tingkah laku itu. Lebih jauh Benyamin Spock (1982:259) menyatakan bahwa tindakan semacam itu akan mampu membentuk watak siswa yang memiliki budi pekerti baik. Kalau guru telah segan bertindak tegas terhadap siswa maka kewibawaan mereka akan berkurang.  
Menurut Thomas Amstrong (2003:161) ada beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk menangani perilaku siswa yaitu:
(a) bicara kepada siswa,
(b) memberikan contoh atau teladan bagi siswa,
 (c) sediakan konseling pribadi,
(d) buat konseling bersama teman-teman sebaya, dan (e) kembangkan kontak pribadi guru dengan siswa.  
Kesimpulan, bahwa tindakan tegas terhadap siswa yang melakukan pelanggaran atau kesalahan, perlu dilaksanakan dengan pendekatan yang bermuatan pendidikan agar dapat mendorong si pelanggar untuk menyadari kesalahannya dan memiliki komitmen untuk memperbaiki diri sehingga pelanggaran atau kesalahan itu tidak terulang lagi. Penggunaan tindakan tegas yang mendidik terhadap siswa, akan tetap menyuburkan kasih sayang, dapat menyadarkan siswa akan
kesalahannya, mengembangkan hubungan yang harmonis dengan siswa, dan mampu membentuk budi pekerti yang
baik pada siswa, serta tetap menghargai dan menghormati guru, sehingga kewibawaan guru tetap terpelihara.

C. DAMPAK KEWIBAWAAN PENDIDIK BAGI PESERTA DIDIK.
            Peserta didik membutuhkan kasih sayang. Tanpa adanya kasih sayang, pesertadidik akan bertindak di luar kontrol pendidik. Peserta didik akan menjadi pribadiyang brutal dan sulit di atur. Di luar pihak, peserta didik yang mendapatkan kasihsayang secara berlebihan akan menjadi pribadi yang manja dan tidak siap dalammenghadapi tantangan hidup. Sama halnya dengan kewibawaan yang disesuaikandengan kebutuhan peserta didik. Kewibawaan yang berlebihan akan berdampak kepada proses pendidikan diktator.
Dampak positif seorang pendidik yang memiliki sikap kewibawaansesuai dengan kebutuhan peserta didik, antara lain :
a).  pendidik akan dihormati dan diteladani oleh peserta didik, 
b).dapat mempengaruhi peserta didik untuk patuh terhadap peraturansecara sadar dan sukarela,
c). peserta didik mengerti bentuk kepatuhan terhadap peraturan untuk kebaikan peserta didik bukan untuk keuntungan salah satu pihak, dan
d). dapat membentuk kepribadian yang baik dan santun bagi peserta pendidik
Dampak negatif seorang pendidik yang memiliki sikap kewibawaan secara berlebihan, antara lain :
a). akses sosial peserta didik jarang terjadi sehinggamematikan potensi kepemimpinan peserta didik,
b). mengakibatkan peraturan sistematik yang terus-meneruskarena peran pendidik yang sangat dominan,
c). membentuk karakter peserta didik yang pemberontak, suka melanggar aturan dan melecehkan pandidik,
d). apabila peserta didik patuh pada peraturan,  hal itudikarenakan rasa takut dan bukan malu sehingga peserta didik kurang mengerti arti penting dari suatu peraturan, dan
e).  peserta didik akan menjadi pribadi yang egois dilingkungan masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
Bimbingan Konseling “Alat Pendidikan dalam proses pembelajaran”ditulis oleh Ifdil.
Shidewdivika “Kasih Sayang dan Kewibawaan Pendidik” (2010)
http://konselingindonesia.com Menggunakan Joomla! Generated

 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar